Baju saya masih basah oleh keringat ketika mobil melaju di antara pepohon nyiur yang silang menjulang. Berkunjung ke Bukit Asah di tengah hari bolong tampaknya bukan ide yang terlalu bagus. Saya dan kawan-kawan masih ingin menikmati penyejuk ruangan di mobil, namun belum sampai sepuluh menit, aroma anyir tercium samar.
Sang pemandu, Bli Wayan, menyampaikan kalau kami sudah tiba di Pantai Bias Putih. Yang berarti ‘pasir putih’, penamaan sederhana khas berbagai daerah di Indonesia.
Kaki saya seperti tersengat saat menyentuh pasir di antara perahu-perahu nelayan yang berbaris di jalan masuk pantai. Bagai menyadarkan saya bahwa inilah rasanya berada di pantai sesungguh-sungguhnya. Pengalaman terakhir saya di pantai bisa dikatakan sangat jauh dari kata tropis. Pantai itu berada di sebuah teluk, di desa bernama Tjørnuvík di Pulau Streymoy di Faroe Islands.
Saat itu cuaca jelang senja dingin menusuk; percik-percik ombak yang tertiup angin seperti memerintahkan saya untuk segera berlindung ke mobil. Jadilah saya memandangi pantai berpasir hitam dari balik kaca; sembari sesekali terpukau dengan gulungan ombak nan tinggi.
Saya juga disambut gulungan ombak tak kalah tinggi di Bias Putih. Pantai yang tak terlalu luas ini lebih dikenal sebagai Virgin Beach. Mungkin karena ia berlokasi cukup tersembunyi, menyempil di antara perbukitan, dan sulit dijangkau. Bagai pantai yang jarang dijamah.
“Dulu waktu ke sini saya harus parkir mobil di atas, lalu turun tebing cukup jauh,” ujar Adit, kawan jalan baru saya, tentang persinggahan pertamanya di Pantai Bias Putih.
Kami sedang bercakap-cakap di salah satu restoran di tepi pantai, Sunrise Cafe. Di depan berjajar kursi-kursi pantai dengan payung lebar berwarna-warni, sepasang turis asing tertidur sambil berpegangan tangan. Saya merasa melankolis.
Jadwal kami ke Bias Putih memang untuk makan siang dahulu, barulah bermain sepuasnya. Sayangnya, tidak puas-puas amat karena kami juga harus mengejar destinasi berikutnya. Padahal, godaan untuk berenang, apalagi menyeberang ke Gili Paus di seberangnya untuk snorkeling, sangat menggebu-gebu.
Sambil menyeruput air kelapa, Adit kembali bercerita bahwa pantai ini adalah favorit turis lanjut usia, juga yang berwisata dengan keluarga. Suasana pantai ini memang cukup tenang dan nyaman; sangat berbeda dengan pantai-pantai di selatan Bali, misalnya. Pun begitu, daftar tempat wisata di Bali memang amat panjang. Hingga kini banyak yang belum terjangkau.
Pantai Bias Putih yang berada di Desa Bugbug, Kabupaten Karangasem, ini laksana Ubud dari Timur Bali. Tempat para pejalan yang menyenangi suasana yang jauh dari hiruk-pikuk. Bedanya, Ubud di sini punya pantai. Lengkaplah bagi yang ingin menikmati debur ombak, bukan hanya hijau persawahan.
Ombak yang cukup kencang membuat pengunjung mesti waspada berada di tepi. Sesekali bisa saja turut terseret, walau banyak juga yang menjadikannya ajang bersenang-senang. Bertanding menahan diri diterjang ombak tanpa terpelanting. Saya tertawa menyaksikan para lelaki terbahak-bahak menahan deburan ombak.
Setelah santapan hidangan laut dan sambal matah tandas, saya melepas sandal dan meraih topi jerami. Dari tadi saya tak tahan ingin berjalan menuju ujung pantai; ombak terlihat memecah bebatu tebing. Di bawah juluran kaktus yang tumbuh di tebing terdapat sesajen sederhana.
Saya menjorokkan kaki ke pasir yang halus sembari melangkah. Nikmat sekali rasanya, angin tak henti menggeser posisi topi. Di ujung terdapat sebuah rumah makan dengan suasana yang lebih privat. Saya berkhayal dapat berlama-lama berbaring di kursinya, membaca buku, mendengarkan lagu-lagu Cigarettes After Sex, sambil sesekali meraih tangan seseorang.
Hm, tampaknya akan ada kali kedua dan kali seterusnya untuk kembali ke Bias Putih. Virgin Beach dari Timur Bali.