Bapak-bapak telanjang dada bersarung batik yang menyoren keris di pinggang; lembaran-lembaran kertas di tangan. Para pria di Desa Tenganan baru saja menyelesaikan pertemuan rutin di Bale Agung—yang tampak dalam pandangan seperkian langkah dari gerbang desa. Inilah Desa Tenganan Pegringsingan, yang sebelum tahun 1970-an dinobatkan sebagai desa paling terpencil oleh antropolog. Ia kini termasuk dalam wilayah Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem.
Petang merayap dan sinar matahari mengerjap di antara dedaun Pohon Jepun. Beberapa kawan asyik mengamati warga Desa Tenganan Pegringsingan yang mengukir daun tal—yang sudah berbentuk lempiran aneka ukuran, dengan semacam sembilu bermata tiga bernama pangrupak.
Ia mengingatkan saya pada pengawi ratusan tahun silam. Yang hari demi hari diluangkan untuk menyurat pada daun tal—kita lebih mengenalnya sebagai rontal atau lontar, untuk mewariskan falsafah dan adat sedari zaman dulu.
Lontar merupakan pengejewantahan tradisi lisan dan budaya yang berakar kuat. Sekuat daun tal yang dipercaya tetap utuh hingga ratusan tahun. Dan kini manuskrip Lontar di Bali dipuja-puja karena nilai sejarah, filsafat, dan sastranya yang tinggi.
Huruf demi huruf yang terukir pada Lontar dipercaya merupakan sumber ilmu pengetahuan. Perwujudan Sang Hyang Aji Saraswati. Tak heran lontar kini tersimpan aman di pura-pura dan tempat penyimpanan lain yang tersebar di Bali. Tambahan lagi, setiap enam bulan, pada hari Sabtu Kliwon Wuku Watugunung dalam kalender Bali, diadakan piodalan Saraswati untuk Lontar dengan menghaturkan aneka banten. Esoknya, hari Minggu Umanis Watugunung, masyarakat membawa toya kumkuman (air suci) menuju sumber mata air atau pantai untuk melaksanakan upacara Banyu Pinaruh atau menyambut turunnya ilmu pengetahuan.
Itulah penghormatan terhadap Lontar sebagai warisan budaya Bali yang dimuliakan.
Saya kembali mengamati seniman yang mengusapkan serbuk kemiri pada lempiran Lontar bercorak peta Pulau Bali. Kawan saya menyebutkan namanya dan sang bapak menggurat dengan telaten. Tradisi nyurat Lontar masih bertahan hingga kini, menjadi semacam simbol Desa Tenganan, walaupun kemudian juga beralih fungsi sebagai benda kenang-kenangan.
Ada banyak gambar menarik yang dipajang pada Lontar, semuanya menunjukkan bakat yang tak remeh. Saya senang menyaksikan tradisi ini masih diturunkan generasi ke generasi, walaupun ia tak lagi profan mengingat zaman telah berubah jauh.
Berasal dari kata gring yang berarti ‘sakit’ dan sing yang berarti ‘tidak’. Pada awalnya tenun ini dibuat sebagai penolak bala; dipakai pada upacara keagamaan, potong gigi, pernikahan, dan lain-lain.
Karena prosesnya yang cukup rumit, pembuatan Kain Gringsing memakan waktu cukup lama. Untuk selembar kain besar bisa memakan waktu hingga tahunan—otomatis membuat nilai jualnya sangat tinggi. Karena itu pula, agar bisa menjual lebih banyak, Kain Gringsing yang dibuat kebanyakan seukuran syal—yang bisa selesai dalam tiga bulan. Harganya delapan ratus ribu rupiah saja.
Melihat tradisi Lontar dan Kain Gringsing yang lestari, tak diragukan lagi kalau Desa Tenganan merupakan salah satu dari tiga desa Bali Aga—bersama Desa Trunyan dan Sembiran, yaitu desa yang masih mempertahankan aturan adat dan tata cara hidup warisan nenek moyang, yang masih teguh berdiri. Hal ini terlihat jelas dari pengaturan letak bangunan, bale, dan pura serta berbagai sistem adat lain yang masih dipegang teguh oleh Desa Tenganan.
Bagaimana, tertarik melihat langsung warisan budaya Bali Kuno di Desa Tenganan?
Referensi: dari berbagai sumber