Perjalanan tak Terduga
Mungkin semesta memang merestui saya melangkahkan kaki hingga Ternate. Kepulauan Rempah di Utara Maluku. Demi menyaksikan Gerhana Matahari Total untuk kali pertama. Ini adalah perjalanan mendadak. Saya mendapat undangan untuk turut menyaksikan, lebih tepatnya mewartakan, fenomena Gerhana Matahari Total yang berlangsung pada 9 Maret 2016. Dua hari sebelum ulang tahun saya.
Tentu saya menyambutnya dengan sukacita, bagai kanak-kanak yang mengharapkan kejutan pada hari ulang tahun. Entah memang karena itu atau hal lain, anehnya, beberapa hari menjelang perjalanan saya merasa ada yang mengganjal. Saya juga kehilangan fokus, baik dalam pekerjaan ataupun urusan pribadi. Mungkin hanya kelelahan, juga keresahan jelang tambah usia, simpul saya.
Ketika beberapa kawan dari rombongan saya, yang diamanahkan dengan tagar #GMTTernate, mengabarkan sudah berkumpul di Bandara Soekarno-Hatta, saya malah asyik memilah-milah baju. Sambil berkirim pesan dengan kawan seperjalanan saya, Satya, untuk bertemu di bandara pukul dua belas siang besok.
Jam menunjukkan angka satu ketika barang bawaan selesai disusun di atas kasur. Saya hendak menutup malam dengan tidur nyaman. Lalu, sebuah pesan masuk. Satya menanyakan keberadaan saya–dia sudah menunggu sedari tadi di bandara. Saya terhenyak. Seakan-akan mendapat vonis harus mengulang kelas yang menyebalkan pada semester berikutnya. Saya buru-buru mengecek jadwal penerbangan di kotak pesan.
Penerbangan pukul 02.00 WIB. Dua dini hari. Saya kira dua siang, dengan bodohnya. Rumah pun gempar karena saya berlarian seperti orang sinting. Buru-buru meraih ransel dan memasukkan baju dan sembarang perlengkapan. Ibu saya ikut memasukkan barang yang berceceran ke kantong plastik jumbo. Lantas saya memanggil ojek, berharap motor dapat melesat cepat, dengan menenteng ransel yang belum terkancing dan kantong plastik acak-acakan.
Saya lupa itu pukul satu dini hari. Jalan tentu lengang. Untuk apa saya naik ojek? Padahal jalur paling cepat ke bandara adalah lewat tol. Ojek pun saya perintahkan berputar menuju pintu tol Pluit. Di situlah saya menggedor-gedor jendela taksi–supirnya tidur. Tidak sopan, memang. Untung saya tak diteriaki hantu, malangnya lagi maling.
Pak Supir melajukan mobilnya hingga kecepatan maksimal, 120 km/jam. Itu pun saya paksa-paksa. Bahkan, alat pengukur kecepatan berbunyi terus karena angka menembus 140 km/jam. Satya menelepon, mengabarkan bahwa panggilan memasuki pesawat sudah terdengar. Saya makin menggila.
Sambil melompati pagar di pintu Terminal 1B secepat kilat, saya disambut konter check-in yang sudah tutup. Wajah saya memanas, ini pertama kalinya saya ketinggalan pesawat. Saya memohon-mohon dengan alasan ini-itu, apalagi saya tak perlu memasukkan bagasi. Lima menit saya terpaku di depan konter. Saya menelepon Satya, memastikan situasi. Ternyata, mereka masih antre masuk pesawat. Mendengar hal itu, saya kemudian diantar seorang petugas menuju pesawat. Sudah, begitu saja.
Saya pun duduk di pesawat dengan rasa tegang yang tak kunjung hilang. Sungguh pengalaman yang absurd. Benar-benar bodoh, mungkin inilah firasat tak enak yang saya rasakan beberapa hari sebelumnya. Saya kemudian tak bisa tidur selama tiga jam setengah penerbangan.
Mendarat di Pulau Ternate
Untunglah, langit cerah menyambut kedatangan kami di Bandara Sultan Babullah. Saya baru menyadari banyaknya turis asing, begitu pula jurnalis dan fotografer—lihat saja tas kamera raksasa mereka! Ah, sungguh saya tak mengira dapat menginjak Pulau Ternate. Kegembiraan menjalar ke seluruh tubuh.
Hiruk pikuk memenuhi bandara, turis Jepang menyeret-nyeret koper besar. Begitu pula turis berambut pirang. Spanduk yang mempromosikan fenomena gerhana tergantung di dinding. Para supir mobil sewaan memanggil-manggil penumpang. Jalan raya di luar bandara pun dibarisi spanduk serupa yang dibuat oleh dinas pariwisata setempat.
Ternate sudah siap menyambut para turis, buka pemandu kami, Sarifudin Koroy, saat mobil meluncur ke rumah makan. Penginapan penuh dipesan dari setengah tahun yang lalu. Itulah sulitnya, penginapan di Ternate tak mampu menampung permintaan yang membludak, tambahnya. Karena akan cukup lama dilewati jalur Gerhana Matahari Total, sekitar 2 menit 29 detik, Ternate menjadi lokasi pengamatan bagi para peneliti dari Jepang, Jerman, dan negara-negara lainnya. Terlebih, cuaca diramalkan cerah saat gerhana. Saya pun berdoa demikian.
Menyambut Gerhana Matahari Total
Banyak acara disiapkan demi menyambut Gerhana Matahari Total di Ternate. Festival Legu Gam, perhelatan budaya yang diadakan setiap tahun pada awal bulan April, sengaja dimajukan ke tanggal 1-14 Maret 2016 agar bertepatan dengan Gerhana Matahari Total. Pesta rakyat ini berkesempatan memamerkan diri kepada turis yang bertamu; dengan beragam pertunjukan seni tari dan musik, pameran kuliner tradisional, hingga kerajinan tangan.
Kawan pejalan merangkap pemerhati budaya yang baru saya temui di Ternate, Devanosa, mengungkapkan bahwa rangkaian acara Legu Gam sangat menarik. “Kemarin ada pertunjukan Tari Soya-soya, begitu magis,” ujarnya. Ah, sayang sekali saya tak bisa menyaksikan tari perang khas Maluku Utara itu.
Legu Gam sesungguhnya adalah sebuah perayaan hari kelahiran Sultan Ternate, Mudhafar Sjah. Karena beliau wafat pada Februari 2015 lalu, festival ini menimbulkan rawan hati. Bagai ada yang kurang. Pun begitu, keluarga Sultan tetap menjadikannya sebagai momen untuk bercengkerama dengan masyarakat. Memang itu tujuannya.
Akan tetapi, untuk tiga ritual dalam Legu Gam, yaitu Doru Gam (mengunjungi daerah tertentu), Kololi Kie (mengelilingi Gunung Gamalama melalui laut), dan Fere Kie (mendaki Gunung Gamalama) yang semestinya dilakukan Sultan, kini keluarganya yang menggantikan. “Tapi, saya belum tahu siapa yang akan memimpin ritual, semua orang berspekulasi,” bisik Devanosa. Terkadang dia memang senang bergosip.
Selain Festival Legu Gam yang berlangsung di Lapangan Salero, ada pula Iwapi Solar Eclipse Expo yang diadakan di Dhuafa Center pada 6-10 Maret 2016. Di sana juga dipamerkan beragam seni-budaya Ternate. Tadinya saya berencana menyaksikan pertunjukan Bambu Gila, tapi tak sempat. Sementara itu, di Benteng Oranje diadakan Solar Eclipse Festival.
Masyarakat Ternate tampaknya menyambut Gerhana Matahari Total dengan gempita. Orang-orang turun ke jalan, merakit peralatan melihat gerhana, juga mengunjungi tempat-tempat yang dijadikan lokasi pengamatan. Ya, bukan hanya peneliti atau turis asing yang sibuk menyelidiki lokasi, warga juga tak kalah semangat. Dan begitu melihat kawan jalan saya, Daniel, tak ragu-ragu mereka meminta foto bersama. “Hello, Mister!” dan “Selfie, Mister?” adalah senandung yang akrab di telinga.
Tak jarang pula saya dikira turis Jepang atau Korea. Setelah dibilang orang Jakarta, mereka malah makin semangat minta foto bersama. Ah, saya langsung teringat pada ibu saya. Ia hobi betul minta foto bersama turis asing. Hal-hal semacam itu membuat saya tersenyum-senyum hingga kini.
Gerhana Matahari Total: Kenduri Mancia Ternate
Malamnya saya dan Satya dan kawan-kawan baru begadang hingga pukul dua di Pantai Nukila. Kota Ternate seperti enggan tidur menyambut peristiwa pagi nanti. Alhasil, saya dan Satya terlambat bangun. Rencananya kami akan memotret matahari terbit di Benteng Tolukko pukul lima, lalu menunggu gerhana. Apa daya, baru terjaga pukul tujuh. Tanpa sempat mandi, kami mengangkut peralatan memotret menuju Benteng Tolukko.
Untunglah, semua serba dekat di Ternate. Benteng Tolukko di wilayah utara hanya berjarak sepuluh menit dengan mobil dari hotel di Jalan Pahlawan Revolusi. Matahari sudah meninggi saat mobil memasuki halaman benteng yang dibangun Portugis pada tahun 1540 itu. Beberapa jurnalis bersiaga dengan kameranya, beberapa warga mulai memotret dengan smartphone-nya. Gerhana masih dua jam setengah lagi.
Pagi itu sangat cerah. Langit biru memantul ke lautan yang pirus. Gunung Gamalama menjulang dari balik awan. Matahari terasa semakin terik menit demi menit. Pukul 09.13 WIT, Gerhana Matahari Sebagian mulai terlihat. Saya menyematkan kacamata gerhana yang dibagikan oleh Kementerian Pariwisata. Matahari terlihat seperti sabit yang membara. Saya pun menggeser tripod ke belakang benteng, menyempil di antara dua pria yang sibuk menjepret.
“Mbak, enggak pakai filter?” tanya salah satunya, yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Andry Novelino, jurnalis media online di Jakarta. Saya menggeleng. Dia memberikan plastik film. “Bisa rusak sensor kameranya karena panas, tempel aja filternya.”
Setelah berulang kali gagal, saya dapat menangkap momen menjelang gerhana matahari. Satya tak kalah kreatif, kacamata gerhana ditempel ke lensa. Kami memotret di bawah terik yang meluluhkan peluh di tubuh. Benar-benar melelahkan. Karena exposure terus berubah dan matahari bagaikan menaiki tangga, saya harus berulang kali menyetel tripod dan menjepret manual.
Mendadak benteng dipenuhi masyarakat dengan beragam senjata. Ada yang membawa piring Styrofoam yang dilapisi plastik film, lembaran Rontgen, hingga klise film. Mereka menemukan berbagai gagasan untuk menyaksikan gerhana matahari. Saya teringat pada pemberitaan seputar Gerhana Matahari Total pada tahun 1983. Betapa ketika itu informasi diberikan secara sepihak sehingga masyarakat menutup rapat pintu dan jendela dan sumur dan mata hewan ternak dengan ketakutan akan terserang kebutaan.
Ini adalah perayaan semesta, sebuah peristiwa alam ajaib yang menunjukkan kebesaran sang Pencipta. Dan mancia Ternate menyambutnya dengan sukacita.
Menit-menit menjelang Gerhana Matahari Total diwarnai sahut-sahutan. Saya berdebar-debar. Langit sedikit demi sedikit memudar. Kelabu. Kemudian, dengan sekali tepuk, gelap total. Gerhana Matahari Total berlangsung dengan begitu magis. Bagai malam yang alpa. Semua orang semakin riuh, ada yang mengucap syukur pada Tuhan. Ada yang memuja-muja keindahannya. Saya menatap matahari yang berpendar dengan takjub.
Tapi, semua terjadi begitu singkat. Matahari kemudian tersibak dan cahayanya kembali menerangi. Saya terduduk cukup lama di lantai benteng yang beralaskan batu tak rata. Sambil menyeka peluh yang meleleh hingga leher, saya dan Satya, juga Mas Andry bertukar cerita. Saya tak henti-henti mengungkapkan kegembiraan. Kami semakin puas setelah tagar #GMTTernate mendapat sambutan meriah di media sosial. Foto yang kami unggah dapat disaksikan oleh orang-orang yang tak dapat menyaksikan gerhana di daerahnya.
Dengan tubuh lemas—kami baru sadar belum makan apa pun dari pagi, kami meninggalkan Benteng Tolukko yang sangat berkesan. Tentu saja perayaan belum usai. Kenduri semestinya ditutup dengan makanan. Usai mengisi perut kami langsung berlayar ke Pulau Tidore. Ada Tidore Solar Eclipse Festival yang diadakan di Pantai Tugulufa. Hujan sempat turun saat mobil menyusuri pesisir Tidore, yang membuat saya terlelap. Tiga puluh menit kemudian kami tiba di lokasi. Jalan sudah dipenuhi warga yang duduk dan berdiri berhimpit-himpitan.
Di pinggir Pantai Tugulufa sedang berlangsung penanaman terumbu karang, yang didapat dari donasi masyarakat. Saya menyempil di antara pengunjung yang memadati panggung, di sisinya berjajar kursi untuk para undangan. Beragam penganan khas tersaji. Saya melihat nasi jaha yang mirip lemang, kue palita yang dilumuri gula merah, serta pisang dan batata (ubi jalar) rebus.
Pembawa acara lalu mempersilakan undangan untuk menikmati kuliner tradisional yang tersaji di sisi panggung. Daniel, si bule yang tiada henti dihampiri warga, sudah menimang piring penuh aneka makanan. Dia memang doyan makanan Indonesia!
Saya melihat perpaduan makanan yang unik di piring orang-orang. Pisang rebus dengan ikan gohu dan sambal. Ubi jalar dengan gulai ikan dan kerepek kasbi (di Tual disebut embal). Saya meraih mangkuk yang terbuat dari batok kelapa untuk menyendok es kelapa. Warga kemudian mengerumuni hidangan yang disediakan. Lalu pertunjukan yang dinanti tiba–Daniel bahkan sempat ikut unjuk bakat. Pertunjukan Bambu Gila.
Bambu Gila, yang dalam bahasa Ternate disebut Bara Masuen, adalah permainan tradisional yang berkembang di Ternate sejak ratusan tahun silam, bahkan sebelum Agama Islam dan Kristen masuk. Ketika itu, Bambu Gila dimanfaatkan untuk memindahkan barang yang sangat berat, seperti menarik kapal, juga melawan musuh karena dipercaya memiliki kekuatan mistis.
Bambu Gila biasanya dimainkan oleh tujuh pria dan seorang pawang. Mula-mula pawang membakar kemenyan dalam batok kelapa, lalu membaca mantra dan mengembuskan asapnya ke bilah bambu. Roh diyakini akan masuk dan menggerakkan bilah bambu. Bambu akan terasa berat dan bergerak sendiri, mengikuti arah asap kemenyan yang dibawa oleh pawang. Para pemain harus berjuang memegang bambu agar tidak lepas. Itulah menariknya, para pemain yang berbaris rapat tentu kesulitan bergerak ke sana kemari mengikuti kemauan bambu. Saat saya bertanya tentang kemistisan permainan ini, Daniel senyum-senyum saja.
Warga juga tak mau kalah dengan fotografer yang mejeng di depan. Mereka berdesak-desakan demi menyaksikan atraksi mengagumkan yang dituntun oleh roh. Berkali-kali panitia berusaha meminta penonton mundur. Tampaknya kemeriahan festival ini membuat semua orang enggan beranjak.
Pak Sarifudin kemudian datang dengan cangkir bambu berisi Kopi Dabe. Kopi khas Tidore yang diramu dengan rempah, seperti cengkih dan kayu manis. Rasanya sangat unik, dan harum. Sambil berjalan menuju mobil yang diparkir, Daniel tak henti-henti disapa warga yang duduk di sepanjang jalan. Saya dan kawan-kawan hanya bisa tertawa. Saya belum ingin kenduri ini usai.
*Mancia: orang