Jelang akhir tahun 2019, hari-hari santai menghiasi pikiran. Cuaca Jakarta yang adem dan bermanja-manja dengan kucing jadi kenikmatan tersendiri. Ya, walaupun kenyataannya langsung tergoyahkan oleh ajakan pelesiran ke Tarakan. Terlebih saat mendengar nama Festival Iraw Tengkayu dan Kepulauan Derawan. Ubur-ubur dan hiu paus pun berseliweran di kepala.
Siapa bisa menolak, penghujung tahun digoda oleh laut dan pasir putih, juga kesempatan bertemu kawan-kawan baru, Uki Wardoyo dan Rara Diera. Kak Eka yang sudah beberapa kali trip bareng juga turut serta. Saya pun terbang ke Tarakan, Kalimantan Utara, dengan sukacita, meskipun penerbangan jam lima pagi membikin jadwal rebahan berantakan.
Kami tiba di Bandara Internasional Juwata pukul satu siang, setelah transit hampir empat jam di Balikpapan. Disambut panasnya Tarakan, kami meluncur ke Restoran Malabar untuk santap siang. Ternyata di sana sudah ramai, perjalanan kami akan dimeriahkan oleh para agen wisata dari Malaysia dan Singapura, juga awak media iNews TV. Dan siapa sangka, ada Asoka juga. Tampaknya trip ini bakal menghebohkan!
Berlayar ke Kepulauan Derawan
Sepuluh menit saja jarak dari restoran menuju Pelabuhan Tengkayu, gerbang laut menuju Kepulauan Derawan di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Semula saya mengira Derawan masih berada di Kalimantan Utara, seprovinsi dengan Tarakan. Derawan dapat ditempuh dalam tiga jam dengan kapal cepat, tetapi kami baru tiba begitu matahari terbenam karena sempat kandas di tengah jalan.
Begitulah, kondisi laut selalu berubah dan terkadang waktu surutnya luput ditebak. Kami pun naik ke atap kapal, menikmati matahari yang bersembunyi di balik awan kelabu. Setelah terlelap beberapa kali, kami tiba di Derawan dengan aman sentosa. Menuju Restoran Syagi tak jauh dari dermaga.
Rasa letih terbayarkan oleh pisang goreng manis berbumbu kacang, ditambah lagi kelapa muda yang tak kalah manis. Hidangan laut pun menyambut, ikan bakar dan sambal terung adalah kombinasi melenakan. Wuah, santap sederhana di Derawan rasanya pun mewah sekali karena kelezatannya. Tak puas dengan itu, Asoka malah menggoda kami lagi dengan sambal teri-daun jeruk racikannya. Kontan kami tambah nasi lagi!
Hufh, perut seketika buncit dan berat saat kami harus berjalan menuju penginapan. Sementara Asoka menginap di Sunrise di ujung, kami para perempuan meluncur ke Eliana yang jaraknya lebih dekat dari restoran. Sekilas suasana di pulau ini cukup ramai, banyak warung dan warga bercengkerama. Dan wow, banyak kucing cantik juga.
Kami tiba di Penginapan Eliana yang nyaman dan membersihkan diri, Kak Eka tidur lebih dahulu dan tetiba saya dilanda lapar lagi. Jadilah tepat tengah malam saya keluar, jalan lengang, dan warung nasi goreng Jawa Timur masih buka. Satu bungkus saya boyong pulang, buat modal energi petualangan besok. Sebungkus harusnya tak bikin buncit, ya.
Jelajah Kepulauan Derawan: Kakaban, Maratua, dan Absen ke Sangalaki
Hujan turun sederas-derasnya saat saya dan rombongan tiba di dermaga. Bah, padahal paginya Asoka pamer matahari terbit bak telur mata sapi. Akhir tahun begini hujan memang mulai merundung Derawan. Setelah tiga puluh menit berlalu, kapal pun lepas jangkar.
Pulau pertama yang kami kunjungi adalah Kakaban, ditempuh sekitar satu jam saja. Tentunya nama pulau ini tak asing lagi, di tengahnya terdapat sebuah danau yang dihuni oleh ubur-ubur tanpa sengat. Ada beberapa tempat di Indonesia yang memiliki ubur-ubur sejenis, antara lain Kepulauan Togean.
Nah, Danau Kakaban berada tak jauh dari dermaga, lima menit berjalan kaki melewati dek lumayan rapi. Hutan lebat mewarnai perjalanan yang menyejukkan, dan begitu sampai di danau dan terkagum-kagum oleh ubur-ubur mungil di tepian, hujan deras kembali turun. Ya pantas saja sejuk sekali…
Pun begitu, kami menghabiskan waktu dua jam di Kakaban. Ada yang berenang, berfoto dengan ubur-ubur, berteduh dari hujan, dan menerbangkan drone. Yang terakhir adalah saya. Karena cuaca kurang bersahabat, ubur-ubur pun demikian. Sedikit saja yang muncul ke permukaan, sisanya mungkin berteduh juga. Yang pasti, saya harus kembali lagi saat musim kemarau.
Dari danau, kami kembali menumpang kapal cepat memutari pulau menuju destinasi baru yang cantik. Kehe Daing namanya, yang berarti ‘lubang ikan’ dalam bahasa lokal. Laguna ini mengingatkan saya pada Danau Weekuri di Sumba, bedanya Kehe Daing memanjang, tak melingkar.
Kehe Daing dapat dijangkau melewati celah tebing, saat air surut. Namun, saat pasang, kapal diusahakan merapat sedekat mungkin ke tebing, lalu kita dapat melakukan loncat indah. Tebing karst dengan permukaan yang tajam pun menyambut, perhatikan selalu langkah agar tidak terluka. Sementara saya sibuk merekam suasana, Asoka berteriak, “Yuki, fotoin pakai drone.”
Akhirnya selagi kawan-kawan berendam santai, juga Rebecca yang entah kenapa memakai jaket pelampung padahal air dangkal, saya malah sibuk jadi pilot hingga tidak menyentuh air sama sekali. Waktu pun berlalu dan kami melanjutkan perjalanan.
Destinasi ketiga adalah Pulau Maratua, kapal bertambat di Desa Payung-payung karena terdapat masjid. Para pria hendak salat Jumat, sementara sisanya menyantap makan siang di dermaga, bermandi keringat karena terik matahari. Satu jam berjemur saya kabur ke pondok. Dari sini kami memutari pulau menuju Maratua Paradise Resort untuk waktu santai menikmati pisang goreng dan kopi. Ya, tengah hari bolong begini lebih asyik lagi tidur siang. Di atas air.
Dari Maratua, rencananya kami hendak bersandar di Pulau Sangalaki untuk melihat habitat penyu. Sayangnya air sudah surut dan kapal terlalu besar, risiko kandas menabrak karang tak terhindarkan apabila ngotot merapat ke pulau. Kami pun memutuskan untuk snorkeling, mengejar ikan pari manta yang perkasa dengan warna hitamnya. Oh ya, walaupun Sangalaki terkenal sebagai habitat penyu, di wilayah mana pun di Derawan kita bisa melihat penyu, bahkan di kolong kamar.
Menutup pelayaran, adalah sebuah ide bagus untuk bersandar di sebuah pulau kosong dengan hamparan pasir putih. Saya mendengar Gusung Sanggalau amat indah, berkelok di tengah lautan, bayangkan saat senja akan berlipat keindahannya. Dan saat kapal bersandar, ada tiga atau lebih kapal lain di sana.
Sejauh mata memandang adalah manusia, dan sampah kayu dan rumput laut yang terdampar. Bayangan pasir putih kosong melompong sirna sudah. Tampaknya waktunya tidak tepat karena hari itu semua orang memburu matahari terbenam di Gusung Sanggalau. Pun begitu, saya dan kawan-kawan tetap meloncat asal ke pasir, dengan gaun-gaun heboh untuk berfoto. Salah satu keahlian saya yang sudah terasah semenjak rutin pelesiran lima tahun terakhir adalah mencari angle.
Melihat semburat awan yang unik di langit, saya pun meminta Uki memotret dengan latar belakang langit itu. Dan cahaya keemasan mulai turun seiring padamnya matahari. Walaupun ramai, momen saat itu menyenangkan. Ada kawan-kawan yang jenaka, ada langit yang unik.
Dan malamnya kami menutup hari terakhir di Derawan dengan berjoget bersama. Mengikuti alunan lagu tradisional Kota Kinabalu yang dilantukan seorang peserta dari sana, yang tampaknya sedang rindu kampung halaman. Sungguh perjalanan yang ajaib!
Kembali ke Tarakan, Mari Berburu Bekantan!
Ada rasa enggan untuk kembali ke Tarakan, terlebih mengingat terik mataharinya. Berkaus biru bertuliskan “Wonderful Indonesia”, untungnya rombongan taman kanak-kanak ini digiring ke tempat sejuk. Konservasi Mangrove dan Bekantan. Wow, bekantan? Monyet yang menjadi maskot Dunia Fantasi? Betul sekali.
Akan tetapi, Bekantan juga adalah maskot Kota Tarakan. Dan di area hutan tengah kota ini kita dapat menemui koloni bekantan yang sebenarnya sudah tak terlalu banyak. Menurut pemandu, hanya ada dua puluh dua ekor bekantan yang menghuni konservasi ini. Tentu kita semua tahu alasan kepunahannya: ulah manusia.
Bekantan yang memiliki nama ilmiah Nasalis larvatus. Sesua nama depannya, monyet yang berambut cokelat-kemerahan yang menghuni Pulau Kalimantan ini memiliki hidung panjang yang khas. Habitat mereka adalah hutan bakau dan rawa-rawa. Hidup berkelompok, bekantan termasuk hewan pemalu dan enggak mendekati manusia, tidak seperti kera yang juga menghuni konservasi ini.
Konon, pengunjung tak selalu beruntung dapat melihat mereka karena mereka tak suka keramaian. Kami beruntung karena walaupun berbondong-bondong, masih bisa menyaksikan mereka bergelantungan di pohon mencari makan. Walaupun hidup liar, petugas menyediakan pisang pada siang hari di area khusus.
Nah, pengunjung boleh melihat aktivitas tersebut asalkan tetap tenang. Ya, pada kenyataannya susah menemukan ketenangan karena pengunjung lain pun berseliweran. Pisang sudah dihidangkan dan bekantan memantau saja dari kejauhan. Tak kunjung turun ke meja makan. Satu jam lebih berlalu dan mereka tak turun jua, kami pun menyerah. Festival Iraw Tengkayu sudah menanti!
Festival Iraw Tengkayu X dan Ritual Padaw Tuju Dulung
Festival Iraw Tengkayu adalah festival dua tahunan yang diadakan untuk memperingati hari ulang tahun Kota Tarakan dan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan dengan melarung sebuah perahu ke laut. Festival ini biasanya disertai dengan panggung hiburan, mengundang penyanyi ibu kota untuk berdendang hingga semarak. Kami sudah menonton pada malam sebelumnya di Lapangan Berkampung.
Siang ini, kami, dan para anggota dewan dan pemerintah Kota Tarakan, berkumpul di panggung di Pantai Amal untuk menyaksikan Festival Iraw Tengkayu yang kesepuluh. Penonton sudah memadati area sekitar, tak sabar menanti tarian paripurna yang akan digelar di lapangan di pesisir pantai.
Tarian tradisional yang dibawakan oleh 220 penari adalah sajian pembuka Festival Iraw Tengkayu, yang secara harfiah berarti ‘pesta laut’. Seluruh penari tersebut direkrut dari sekolah yang ada di Kota Tarakan dan mereka berlatih selama tiga bulan untuk memeriahkan festival.
Saking bagus dan uniknya, tahun 2019 ini Festival Iraw Tengkayu dinobatkan sebagai festival terbaik oleh Kementerian Pariwisata Republik Indonesia. Karena itu, jangan lewatkan festival yang diadakan pada pertengahan bulan Desember ini apabila berkunjung ke Tarakan.
Setelah pidato sambut-menyambut dari Walikota Tarakan, padaw yang sudah diisi sesajen berupa hidangan untuk raja, yang disebut Padaw Tuju Dulung, pun diarak ke lapangan diiringi oleh ratusan penari berbusana aneka warna. Tarian pun dimulai.
Padaw Tuju Dulung berarti ‘perahu tujuh haluan’. Perahu ini merupakan tiruan perahu Raja Tarakan pada abad ke-17. Konon, perahu itu telah menaklukkan bangsa Spanyol pada tahun 1602 di Mindanau, Filipina. Kemudian hari, perahu tiruan dibuat untuk memperingati pelantikan raja-raja Tarakan. Sejak tahun 2001, Padaw Tuju Dulung dibuat untuk merayakan dirgahayu Tarakan. Sebelum dilarung, perahu juga diarak keliling kota disertai pawai rakyat.
Ukuran aslinya adalah tujuh depa atau sekitar dua belas meter; angka tujuh merujuk pada jumlah hari dalam seminggu. Sementara itu, Padaw Tuju Dulung dibuat sepanjang tujuh meter dengan ruangan tengah bernama Meligay untuk menyimpan sesajen. Proses pembuatan padaw adalah tiga minggu.
Konon pelarungan Padaw Tuju Dulung ke laut merupakan momen yang amat magis dan sering kali ada yang kemasukan, karena itu para tetua berseru agar kita tidak termenung. Kemudian, perahu diputarkan sebanyak tujuh kali, sebelum dibiarkan lepas ke lautan.
Adalah sebuah keberuntungan bagi saya untuk menyaksikan perayaan tradisional ini, melihat bagaimana masyarakat Tarakan masih merawat tradisi dan memelihara budaya. Para penari yang diambil dari anak-anak sekolah pun adalah pertanda bahwa semua kalangan dilibatkan dalam pelestarian adat. Datanglah ke Tarakan dan saksikan sendiri semarak Festival Iraw Tengkayu.
Terima kasih kepada Kementerian Pariwisata Republik Indonesia dan Dinas Pariwisata Provinsi Kalimantan Utara yang telah memboyong saya dan kawan-kawan untuk memperkenalkan Festival Iraw Tengkayu kepada semua orang.