“Ki, bagaimana ini hujannya makin kencang? Anginnya juga.”
Ibu saya bangkit dari duduknya lalu menggeser tas ke sudut yang tidak terkena tetesan hujan.
“Sabar, ya, Mi. Mudah-mudahan sebentar lagi berhenti.”
Saya berusaha menenangkannya karena wajahnya tampak kalut. Semuram kepekatan yang mengelilingi pondok tempat kami berlindung dari hujan. Saya pun menggeser-geser lagi tas carrier saya ke sisi pondok yang masih kering. Pondok Derita. Dengan atap rumbia yang sudah bolong di sana-sini.
Langit dan laut terlihat menyatu dalam kegelapan. Seperti tak berbatas.
Ibu saya duduk sambil memeluk lutut. Bajunya basah. Rasanya air mata saya ingin menitik karena membuatnya mengalami situasi ini. Kami sama-sama menggigil. Dan angin terus menghajar pondok kami yang tak berdinding.
“Bang, mesinnya tidak bisa jalan.” Ujar saya kepada Ali, pemilik perahu yang kami sewa untuk ke Kenawa, sebuah pulau kecil seluas 13 hektar yang terletak di Kabupaten Sumbawa Barat, tepatnya di dekat Pelabuhan Poto Tano.
Perahu kami yang baru melaju sepuluh menit tiba-tiba mati di tengah jalan. Alhasil, perahu didayung hingga dermaga. Untung jaraknya belum jauh.
“Dia gak bisa pakai perahu ini. Perahu ini biasanya saya pakai balapan, kemarin itu baru menang.” Ali menjelaskan kepada kami sambil meloncat ke perahu.
Saya pun mengamati perahu yang tampak culun ini.
Keponakannya, yang tadi mengantar kami, pamitan. Ali akan menggantikannya. Benar saja, sekali tarik mesin pun menyala. Perahu melaju kencang melewati feri-feri yang sedang berlabuh untuk istirahat atau menanti penumpang. Laut di sekitar Pelabuhan Poto Tano masih tergolong bersih dan sangat indah, tidak ada sampah plastik atau popok bekas (ew!), paling hanya daun atau ranting kering.
Hari menjelang sore, tapi matahari sangat terik menyorot mata. Dari balik syal yang melilit di kepala–jangan bayangkan mumi–saya melihat pulau-pulau kecil yang bertaburan di sekitar. Ada yang berupa gundukan tanah dengan rumput menghijau, ada yang berupa tebing abu-abu keputihan dengan burung-burung berbaris di atasnya. Sungguh, pemandangan semacam inilah yang mungkin dicari orang saat melarikan diri dari ibukota. Ibu saya pun tampaknya sangat menikmati pelayaran kecil ini.
Dua puluh menit kemudian pulau yang kami tuju tampak. Sebuah bukit mungil menjadi ciri khas Pulau Kenawa. Dari bukit itulah konon kita bisa menikmati senja. Lalu, saya pun teringat sesuatu. Persedian air kami hampir habis.
“Bang, di sana ada yang jualan, kan?”
“Tidak ada, Mba. Kosong pulaunya.”
Duh! Saya pikir di sana paling tidak ada sebuah warung yang menjual air atau indomie. Ibu saya pun melirik saya, bukan Ali, dengan tatapan bingung.
Perahu terus melaju hingga melewati sebuah jembatan kayu, yang seharusnya disebut dermaga, yang sudah reot dan tak bisa dipijak. Ali meminggirkan perahu ke sisi kanan pulau dan membantu kami turun.
“Besok pagi jemput snorkeling, ya, Bang.”
“Iya, Mba.” Ali pun pergi. Meninggalkan kami di sebuah pulau kosong tak berpenghuni tak berwarung.
“Air kita tinggal sedikit, bagaimana dong?” cerocos ibu saya setelah adegan menatap perahu Ali yang menjauh di batas cakrawala selesai.
“Tenang dulu.” Padahal, saya juga panik. Tadinya mau minta tolong Ali untuk membelikan air, tapi sungkan rasanya.
Saya menyeret kaki dari pasir Kenawa yang putih dan mulus. Kesan pertama menginjak pulau ini adalah banyak sampah. Ya, banyak sekali sampah plastik makanan dan botol minuman berserakan, terutama di bawah pondok-pondok yang berjejer di pinggir pantai. Benar-benar merusak pemandangan, dan alam!
Kami menghampiri sebuah pondok yang masih lumayan bagus dan menaruh tas. Saat asyik duduk-duduk, tiba-tiba ada sesuatu yang menggelitik telapak kaki saya. Aaaargh, gatal! Banyak sekali semut merah. Rupanya ada bekas tumpahan minuman (barangkali?) di mana-mana. Orang jorok macam apa yang ke sini! Saya pun menggeser pantat ke tempat yang aman. Lalu ibu saya menunjuk pondok sebelah.
“Tuh, ada rombongan lain!”
Ya, ada dua rombongan lain yang berkunjung ke pulau yang semakin populer ini. Yang satu rombongan-entah-dari-mana-saya-tidak-tanya dan yang satu rombongan keluarga cemara-tanpa-becak asal Bandung.
“Coba tanya siapa tahu mereka punya stok air,” saran ibu saya.
Air? Kenapa dari tadi kami meributkan masalah air?
Jawabannya adalah karena kami berencana kamping. Saya sudah bawa tenda dan perlengkapan. Sayangnya, saya kurang riset dan persiapan. Saya pikir di pulau ini ada warung karena banyak pengunjung yang datang untuk “mojok dan nyampah” atau kamping. Soal pengunjung yang hobi “mojok dan nyampah” ini saya dengar dari tukang perahu–bukan toko–sebelah yang sedang menunggu tamunya yang snorkeling. Penduduk sekitar Sumbawa dan pulau lain sering datang di akhir minggu untuk piknik dan biasanya membawa bekal.
Hal itu juga yang membuat saya heran. Kalau banyak pengunjung, kenapa pulau ini sangat tidak terurus. Padahal sudah berdiri beberapa pondok dan toilet, tapi kondisinya berantakan dan tak layak. Saya dengar, pulau yang sedang dikembangkan oleh pemerintah lokal adalah pulau tetangga, Paserang.
Payah! Padahal menurut saya Kenawa adalah pulau kecil yang sangat indah, lengkap dengan bibir pantai yang romantis dan padang rumput yang bergoyang. Serta bonus bukit kecil untuk memandang bintang dan kekasih nun jauh di sana (eh?).
Kembali ke soal air. Bagaimana kelangsungan hidup kami tanpa air? Kami tidak akan bisa masak mi untuk makan malam. Ibu saya pun mondar-mandir tidak jelas. Tadinya ingin berenang, tapi galau karena masalah air. Saya sempat berpikir apa bisa air laut dibikin untuk masak mi. Ada yang pernah coba?
Daripada bengong, saya mengajaknya ke padang rumput untuk foto-foto ala prewed, sekalian ingin menghampiri sebuah tenda yang tampaknya sudah berdiri dari kemarin. Siapa tahu mereka punya persediaan air dan berbaik hati menyumbang untuk kami.
Setelah foto-foto segala gaya, gaya trenggiling mengejar semut juga sudah, ibu saya mengajak naik ke bukit.
“Lihat, kayaknya rombongan tadi yang nenda di situ!” Ibu saya menunjuk ke arah tenda kuning–bukan tenda biru, apalagi Desy Ratnasari–di atas sebuah dataran tinggi.
Kami pun mampir ke sana. Sepi. Rupanya semua penghuninya sedang mars ke bukit. Pasti mereka ingin berburu sunset, sama seperti kami. Kami lantas mengamati tenda mereka bak detektif swasta.
“Tuh, ada air!” tunjuk saya ke sebuah galon yang tergeletak di tanah.
“Apa kita nenda di sini juga, ya? Supaya lebih gampang minta air,” saran saya sambil cengar-cengir. Tadinya ibu saya menyarankan agar nenda di dekat pondok.
“Terserah Yuki.”
“Ya udah, kita lihat sunset dulu terus pasang tenda di sini.”
Kami pun melanjutkan perjalanan. Mendadak suasana gelap. Padahal kami tidak mematikan lampu.
“Gelap banget, ya! Kayaknya mau hujan,” ujar ibu saya sambil memandangi langit.
Matahari yang semula terlihat akan segera meluncur ke laut mulai tertutup awan. Rombongan yang hendak naik ke bukit belum sampai, masih di punggungan. Sebenarnya sejak tiba saya sudah melihat awan gelap di kejauhan, di ujung Pulau Sumbawa. Tapi, saya pikir awan gelap itu tidak akan sampai ke sini.
“Mataharinya juga ketutup, kita balik aja, Mami.”
Dan gerimis pun turun.
Kami buru-buru pulang ke pondok, yang sudah lumayan jauh kami tinggalkan. Pikiran saya saat itu adalah harus segera memasang tenda supaya tidak kehujanan.
Dan angin kencang pun menerjang!
Kami sampai di pondok dengan terhuyung-huyung karena angin yang begitu kencang. Rasanya seperti badai di tengah laut–walaupun belum pernah kena. Kain pantai dan jaket yang saya jemur sudah terlempar ke mana-mana. Kami pun sibuk menenteng tas sambil memunguti barang yang beterbangan.
Hujan pun turun. Kami berlari menuju pondok yang lebih besar di depan dermaga karena terlihat lebih kokoh.
Rombongan keluarga dari Bandung sudah tak terlihat, mungkin sudah pulang. Satu rombongan lagi ada di bukit, entah sudah turun atau belum. Tinggal saya dan ibu saya berlindung di sebuah pondok terbuka di tengah hantaman badai di pulau tak berpenghuni. Suasana berubah total. Dari terik menyilaukan menjadi gelap gulita dengan angin dan laut yang bergemuruh. Ini pertama kalinya saya mengalami badai seperti ini.
“Kita pulang aja, gak mungkin nenda di sini. Air juga gak ada.” Ibu saya akhirnya bersuara. Wajahnya pucat dan ketakutan.
“Iya, tapi bagaimana caranya pergi dari sini? Gak ada perahu!” Ini benar-benar kacau, pikir saya. Apa kami harus minta bantuan kepada rombongan tenda kuning itu?
“Coba telepon si Ali.”
“Mana mungkin dia mau ke sini, badai begini. Bisa terbalik perahunya.” Saya teringat perahu mininya.
“Kita bisa basah kuyup, ini semua atapnya bocor.”
“Tunggu aja dulu, siapa tahu sebentar lagi berhenti.” Saya berusaha menghibur, tapi sia-sia. Wajahnya tetap panik.
Pada saat itu saya teringat perkataan Ariev, “Bad Day Pasti Berlalu”.
Memang benar, tapi kapan? Kapan, Kak? Sampai kami basah sekujur tubuh? Sampai kami kehausan dan kelaparan? Sampai visa ke Yunani gratis? Sampai dolar lima puluh ribu?
Tiga puluh menit berlalu. Jam sudah menunjukkan pukul 18.05 WITA. Kami sudah berkali-kali pindah posisi duduk untuk menghindari tetesan hujan. Saya pun minta maaf pada ibu saya karena tidak mempersiapkan rencana kamping dengan matang dan tidak menduga cuaca berubah drastis. Ia berusaha tersenyum.
Rencana kamping into-the-wild kami gagal total.
“Ki, bagaimana ini hujannya makin kencang? Anginnya juga.”
Ibu saya bangkit dari duduknya lalu menggeser tasnya ke tempat yang tidak terkena tetesan hujan.
“Sabar, ya, Mi. Mudah-mudahan sebentar lagi berhenti.”
Saya berusaha menenangkannya karena wajahnya tampak ketakutan. Semuram kepekatan yang mengelilingi pondok tempat kami berlindung dari hujan. Saya pun menggeser-geser lagi tas carrier saya ke sisi pondok yang masih kering. Pondok Derita. Dengan atap rumbia yang sudah bolong di sana-sini.
Langit dan laut terlihat menyatu dalam kegelapan. Seperti tak berbatas.
Ibu saya duduk sambil memeluk lutut. Bajunya basah. Rasanya air mata saya ingin menitik karena membuatnya mengalami situasi ini. Kami sama-sama menggigil. Dan angin terus menghajar pondok kami yang tak berdinding.
Tiba-tiba kilat menyambar dari balik pekatnya langit. Lalu sebuah tiang terlihat berputar-putar di pinggir pantai.
Semula tiang itu mengarah ke depan pondok kami yang pertama, lalu berbalik arah lagi. Saya melihat ada sesosok gelap. Perahu! Dan seseorang yang memakai jas hujan hitam. Apakah Batman datang menyelamatkan kami?
“Mami, Mami! Perahu!!!”
“BANG!!! BANG!!! TOLONG! TOLONG!!!” teriak kami kompak.
Perahu itu menjauh. Kami pasrah.
Tiba-tiba ada seorang pria yang berlari di bawah guyuran hujan.
“Mami, itu Ali!!!”
“Kalian tidak apa-apa?” ujar Ali sambil membuka tudung jas hujannya.
“Kami aman, Ali. Ibu sudah bilang sama Yuki supaya kita pulang, supaya telepon Ali. Syukurlah Ali datang….” Ibu saya berceloteh tanpa henti.
“Ayo, pulang!” ajak Ali sambil meraih carrier saya.
Kami bertiga pun berlari menembus hujan menuju perahu Ali yang sekarang sudah besar. Eh?
Ternyata Ali membawa kapal yang berbeda. Kali ini lebih besar dan terlihat macho. Yah, walaupun tanpa atap juga. Paling tidak kami bisa menyelamatkan diri malam ini. Tak peduli hujan terus membasahi kami di sepanjang jalan.
Malam itu Ali menjadi penyelamat kami. Ali Topan. Mungkin tak lama lagi akan datang seorang produser yang menawarinya main sinetron. Kami juga ditawari menginap di rumah bibinya. Rumah panggungnya yang lebar berada tepat di pinggir jalan tak jauh dari pelabuhan.
“Silakan nikmati makanan seadanya.” Sang Bibi menyajikan nasi dan lauk sup ikan khas Sumbawa yang sangat pedas. Saya dan ibu saya sangat berterima kasih dan bersyukur karena bisa duduk di tempat beratap dan berdinding.
Ternyata, si Bibi yang menyuruh Ali menjemput kami di pulau karena tiba-tiba hujan turun. Sebelumnya Ali sudah bercerita kalau dia mengantar kami ke pulau untuk menginap. Tapi, si Bibi khawatir karena hujan sangat deras dan mengira hanya kami berdua yang menghuni pulau kosong itu. Awalnya saya sempat down juga dengan kejadian ini, apalagi melihat kondisi ibu saya yang panik. Tapi, kebaikan orang-orang Sumbawa ini membuat kami bersemangat lagi.
Apakah saya kapok ke Pulau Kenawa?
Tentu tidak!
Esok paginya tepat pukul delapan kami sudah meluncur kembali ke Pulau Kenawa untuk snorkeling. Hari itu matahari bersinar cerah sepanjang hari. Secerah senyum ibu saya saat berenang seperti ikan duyung.
*Tulisan ini diikutsertakan dalam Travel & Blog Competition Let’s Blog Better! dan berhasil meraih Juara 2.