Nama yang unik. Itulah yang pertama kali saya pikirkan saat mendengar nama pulau ini. Sayangnya, lagi-lagi saya lupa menanyakan kepada tukang perahu yang saya sewa, Bang Ali, apakah mandiki memiliki makna atau tidak. Saya singgah di pulau ini setelah hopping island dari Pulau Kenawa dan Pulau Paserang. Ketika pertama kali melihatnya, saya kagum dengan bentuk pulau mungil ini.
Hampir seluruh bagian pulau dipenuhi batu. Tak heran, pulau ini kemudian disebut Pulau Batu. Karena masyarakat dahulu gemar menamai pulau berdasarkan kemiripan bentuknya dengan suatu benda, pulau ini diberi nama Pulau Genang. Genang berarti “gendang”.
Pulau ini terletak pada koordinat 116º48’30,67” BT, 08º29’28,54” LS, dengan luas sekitar 0,24 hektar dan garis pantai sepanjang 180 meter saja. Sangat kecil, bukan? Sama seperti pulau-pulau lainnya di sekitar Pelabuhan Poto Tano, pulau ini tak berpenghuni, kecuali cacing, semut, burung camar, dan hewan-hewan kecil lainnya. Uniknya, di puncak batunya terdapat sebuah pohon dan rerumputan yang menghijau. Sungguh nyaman untuk tempat bersantai.
Setelah snorkeling ke sana kemari di sekitar pulau, dan ibu saya sibuk memotret dari perahu, tiba-tiba Ali mengajak saya untuk berfoto di atas tebing bebatuan. Kalau dilihat-lihat agak mengerikan juga karena kita harus berenang ke pinggir dahulu, dengan ombak kencang yang bergulung-gulung menghantam bebatuan. Ali pun meminta saya menunggu, ia ingin memeriksa kecepatan arus.
Setelah itu, Ali kembali dan menyuruh saya berenang ke pinggir, lebih tepatnya menyeret saya beberapa kali karena saya terbawa ombak. Begitu sampai di atas batu, saya pun tak bisa berdiri kokoh karena dihantam gelombang. Alhasil, foto jepretan ibu saya memperlihatkan adegan saya sedang berpegangan tangan (dan hampir terpeleset) dengan Ali.
Ali lalu menantang saya, “Yuki mau naik ke atas gak? Bagus untuk difoto!”
Demi profile picture baru yang beda dari yang lain, saya pun bertekad memanjat tebing batu itu. “Boleh, siapa takut!”
Ali menyuruh saya melepaskan jaket pelampung, lalu menaruhnya di atas batu. Kami berjalan menyusuri bebatuan karang yang licin dan tajam. Kemudian, Ali memanjat sambil memberi tahu batu mana yang harus saya pijak. Ternyata, ada beberapa bagian batu yang rapuh dan saya hampir terpeleset. Untung tangan saya cepat mencengkeram batu lain yang… argh tajam sekali!. Bahaya sekali kalau jatuh, pikir saya.
Saat mendekati batu yang lumayan tinggi, Ali memegangi tangan saya agar bisa melompat ke batu itu, dan sampailah saya di tujuan! Saya melambai-lambaikan tangan ke arah ibu saya yang sedang sibuk-entah-memotret-apa.
Kami pun akhirnya batal memanjat ke puncak pulau karena Ali mengajak saya turun.
“Bahaya, Ki, kalau naik sampai atas.”
“Abang pernah sampai atas?”
“Pernah, dong. Sering naik sama kawan-kawan. Kalau Yuki datang lagi, nanti saya ajak naik.”
Ya, saya harap bisa segera kembali ke Pulau Mandiki yang mungil ini.