Semua Berawal dari Solo Travel ke Jepang

Saat pertama kali melihat informasi Kompetisi Blog 10 Tahun Air Asia Indonesia di Twitter, saya langsung teringat pada blog saya. Blog ini akan berusia satu tahun bulan depan, masih sangat muda memang. Travel blog ala kadar yang masih dalam proses belajar. Belajar untuk membagikan informasi dan pengalaman, yang saya harap, bermanfaat untuk semua orang.

Maka, saya pun teringat kembali pada asal usul terbentuknya blog ini, beserta peristiwa lainnya yang mengubah hidup saya di tahun 2013.

  • Solo Travel Pertama ke Jepang

Saya tak pernah menduga akan melakukan solo travel ke luar negeri. Memang, ini bukan perjalanan pertama ke luar negeri. Pada tahun 2008, saya menjuarai sebuah kontes penulisan yang mengantarkan saya (ketika itu baru pertama kali naik pesawat dan ke luar negeri) ke Korea. Perjalanan itu memang menjadi sebuah batu loncatan. Tahun berikutnya, saya mulai rajin jalan-jalan. Setelah lulus sidang skripsi, saya membeli tiket AirAsia pertama kalinya untuk liburan ke Bali di bulan Juni. Bulan depannya, Juli 2009, saya kembali menumpang pesawat AirAsia untuk pulang kampung ke Medan dengan tiket PP hanya empat ratus ribu rupiah.

Lalu, bagaimana saya bisa solo travel ke Jepang? Berawal pada Juli 2012, saya ingat betul saat itu AirAsia sedang promo penerbangan ke luar negeri untuk tahun 2013. Setelah sukses dengan Korea Trip (2011) dengan AirAsia X bersama adik saya, saya pun membeli tiket Jakarta-Tokyo (Haneda) PP seharga Rp2,2 juta untuk bulan Mei 2013. Tiket berhasil di-booking pukul 02.00 dini hari. Paginya saya berangkat kerja dengan mata panda dan berjalan seperti zombie.

Saya menyuruh adik saya untuk membeli tiket yang sama. Iya, jawabnya. Hingga promo berakhir, dia tidak beli juga dengan alasan ini-itu. Seperti pacar yang hendak minta putus. Sebulan sebelum keberangkatan, saya pun meyakinkan diri untuk tetap pergi ke Jepang. Seorang diri.

Dalam sebulan saya merancang rencana perjalanan, memesan hostel dan bus ekspres, menghafal rute stasiun, dan lain-lain. Saya pun rajin membuka blog solo traveler Janice Waugh untuk memastikan perjalanan saya lancar dan aman. Sebab, di sana saya harus bisa mengandalkan diri sendiri.

Baca juga: Panduan Praktis Cara Mengurus Visa Jepang

Saya pun tiba di Bandara Haneda tengah malam dan memutuskan tidur di ruang tunggu, lalu berangkat ke Gunung Fuji paginya. Dari situlah masalah mulai muncul, saya masuk angin. Saya sempat panik karena muntah-muntah saat ke Aokigahara, hutan yang terkenal sebagai tempat bunuh diri itu. Namun, saya beruntung bisa menikmati panorama puncak Gunung Fuji dari lokasi Fuji Shibazakura Matsuri. Di Kyoto, saya mengunjungi Fushimi Inari Shrines, kuil seribu gerbang yang menjadi tempat Chiho kecil berlarian dalam film “Memoirs of Geisha”, film favorit saya. Di sini saya juga bertemu sesama backpacker asal Jakarta dan Surabaya. Kebetulan, mereka juga terbang dengan AirAsia. Sayangnya, saya belum berhasil bertemu Geisha saat ke Gion, apakah saya harus kembali lagi?

Petualangan sembilan hari di Jepang terasa sangat luar biasa, tak peduli saya pulang ke tanah air dengan kaki bengkak.

Berbatik pink di Fuji Shibazakura Matsuri
Berbatik pink di Fuji Shibazakura Matsuri
Suasana tradisional di Gion
Suasana tradisional di Gion
Barisan torii di Fushimi Inari Shrines
Barisan torii di Fushimi Inari Shrines
Bersama backpacker asal Jakarta dan warga lokal di Kyoto
Bersama backpacker asal Jakarta dan gadis-gadis Kyoto
Pesta Takoyaki bersama teman hostel
Pesta Takoyaki bersama teman hostel di Kyoto
Berbelanja di Ginza, Tokyo
Belanja di Ginza
solo travel
Bermain salju di Gunung Tateyama
  • Membuat Travel Blog

Beberapa saat setelah pulang dari Jepang, tiba-tiba saya merasa tergugah untuk membuat blog. Perjalanan itu sangat berkesan dan saya ingin membagi kisah-kisah seru dan foto-foto di sana. Alhasil, tulisan tentang kebiasaan bersepeda orang Jepang menjadi tulisan pertama di blog yang saya beri nama Helter Skelter ini.

solo travel
Ibu-ibu bersepeda di Osaka

Dari travel blog ini saya bisa berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai penjuru dunia, dan bisa berkenalan dan memiliki teman-teman baru sesama travel blogger yang menyenangkan. Bisa mengikuti acara-acara travel yang seru. Sungguh, saya merasa terlambat, kenapa tidak dari dulu saya membuat blog.

Sampai sekarang saya terus belajar memperbaiki tulisan saya agar semakin bermanfaat, dan enak dibaca tentunya. Paling tidak seminggu sekali saya selalu menambah satu tulisan baru.

  • Menjadi Penulis Travel di Majalah

Tawaran tak terduga itu datang dari senior kampus saya setelah dia tertarik melihat foto-foto saya di Jepang. Tadinya saya tak menyangka akan menulis sebuah artikel travel untuk media cetak. Namun, saya terima tantangan itu. Kapan lagi saya bisa menulis hal yang baru ini—sebelumnya saya hanya menulis cerpen untuk koran.

Karena perjalanan ke Gunung Fuji dan menikmati Fuji Shibazakura Matsuri sangat berkesan, saya pun menulis dan mengirimkannya. Tulisan ini dimuat di Maxim edisi September 2013. Kalau dipikir-pikir, debut perdana ini tidak terlalu pas dan membuat saya ingin tertawa hingga kini. Maxim adalah majalah populer yang ditujukan untuk para pria, tetapi saya malah menulis cerita jalan-jalan ke taman bunga.

Sejak itu, saya selalu menyelidiki terlebih dahulu target pembaca sebuah majalah agar bisa mencari tema tulisan yang sesuai dan menggunakan gaya bahasa yang tepat.

solo travel
Tulisan pertama di Majalah Maxim September 2013
solo travel
Tulisan pertama di Majalah Maxim September 2013
solo travel
Tulisan di Majalah Herworld Januari 2014
solo travel
Tulisan di Majalah Herworld Januari 2014
  • Ibu Saya Adalah Teman Jalan Terbaik

Solo travel ke Jepang menyisakan sebuah pertanyaan tersendiri bagi saya. Mengapa saya tidak mengajak turut serta ibu saya dalam petualangan saya? Hal itu tebersit saat saya berada di tengah hamparan salju Gunung Tateyama di Toyama. Panorama yang begitu indah membuat saya terpukau dan sangat gembira. Saya tertawa dan asyik berbicara sendiri. Saat itu saya merasa sangat ingin membagi kegembiraan saya bersama seseorang. Tiba-tiba saya merasa kesepian. Keindahan itu terasa hampa karena saya tidak bisa membaginya bersama orang lain.

Pengalaman berwisata seorang diri mengajarkan saya akan pentingnya keberadaan travel mate atau teman jalan. Sosok itu tak lain adalah ibu saya. Rencana solo travel yang saya susun sebelumnya pun saya batalkan. Saya memboyong ibu saya bertualang selama sembilan hari ke Bali, Lombok, dan Sumbawa. Perjalanan itu sungguh luar biasa, beliau sangat gembira. Dalam pesawat Air Asia dari Bali ke Jakarta, yang menutup perjalanan kami, ibu saya pun berbisik, “Mami belum pernah ke luar negeri.”

Kira-kira ke mana kaki kami akan melangkah selanjutnya?

solo travel
Menuju lokasi snorkeling bersama Mami di Pulau Moyo
solo travel
Senja di Takat Sagele, Moyo
solo travel
Mejeng di depan Air Terjun Matajitu, Moyo
solo travel
The most beautiful places is the one you can share with someone

Sungguh, saya tak mengira petualangan solo travel ke Jepang itu akan membuka pintu-pintu baru bagi saya. Hingga saya bisa membuat blog dan berteman dengan orang-orang baru. Bisa merintis profesi yang selama ini tak pernah saya duga. Menemukan teman jalan terbaik di dunia, ibu saya sendiri. Semua itu terus mendorong saya untuk melangkahkan kaki ke berbagai destinasi, untuk membagikan pengalaman dan kisah saya. Semua berkat AirAsia! Terima kasih!

 

*Tulisan ini diikutsertakan dalam Kompetisi Blog 10 Tahun AirAsia Indonesia “Bagaimana AirAsia Mengubah Hidupmu?” yang diadakan oleh AirAsia Indonesia.